Hukum Membayar Fidyah Alasannya Yakni Meninggalkan Shalat
Pertanyaan :
Di tempat saya, jikalau ada seseorang yang meninggal dunia, dan orang tersebut sebelum meninggal dunia telah meninggalkan shalat dan puasa beberapa hari lantaran sakit parahnya. Biasanya keluarga orang tersebut menggantinya dengan membayar fidyah shalat dan fidyah puasa. Apakah dalam syariat Islam diperkenankan untuk membayar fidyah jikalau meninggalkan shalat atau puasa?
Jawaban :
Bapak yang saya hormati. Permasalahan yang bapak sampaikan, tidak hanya terjadi di lingkungan bapak saja, tetapi juga di beberapa tempat lain. Mungkin fidyah puasa tidak terlalu kita permasalahkan. Sebab dalil kebolehannya jelas, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits. Sedangkan fidyah shalat, hingga kini masih menjadi polemik di kalangan ulama.
Ada Hadits riwayat Abu Dawud (No. 952), at-Tirmidzi (No. 372), Ibnu Majah (No. 1223), dan Ahmad, yang artinya : “Dari Imran bin Husaini, ia berkata, ‘Aku terkena penyakit wasir (yang menciptakan shalatku terganggu). Akupun menanyakannya pada Nabi Muhammad saw’. Beliau menjawab, ‘Shalatlah dengan berdiri! jikalau tidak bisa, shalatlah sambil duduk! jika masih tidak bisa, shalatlah sambil berbaring!’.”
Dari hadits di atas, kita sanggup melihat bahwa tidak ada kompensasi untuk meninggalkan shalat, meskipun dalam keadaan sakit. Shalat bisa dilakukan dengan berdiri, duduk ataupun berbaring, bahkan dengan kode sekalipun, sesuai kondisi dan kemampuannya. Maka, berdasarkan pendapat yang mengacu pada hadits ini, tidak ada fidyah bagi orang wafat yang meninggalkan shalat semasa hidupnya.
Ada juga ulama yang beropini lain. Menurut pendapat ini, amal ibadah insan itu terbagi dua. Ada yang sanggup diwakilkan apabila yang bersangkutan udzur, menyerupai sedekah dan haji dan ada juga yang tidak sanggup diwakilkan, menyerupai masuk Islam, puasa, shalat, dan membaca Al-Qur’an. Untuk kategori pertama, pahalanya sanggup hingga pada yang meninggal, meskipun yang melaksanakan orang lain. Sedang untuk kategori kedua, pahalanya tidak hingga pada yang meninggal. Sebagaimana halnya dikala beliau hidup, amal ibadah itu dilarang diwakilkan. Hanya saja, untuk menebus shalat atau puasa yang ditinggal semasa hidupnya diharuskan membayar fidyah, ialah memberi kuliner sebanyak satu mud (±1 liter) gandum atau kuliner pokok setempat untuk satu hari yang ia tinggalkan semasa hidupnya.
Kesimpulan diatas berdasarkan hadits riwayat an-Nasai dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (IV/43) dan at-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar (III/141). Begitu juga Ibn al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh (hal. 239). Semuanya berasal dari Ibnu Abbas ra. Hadits tersebut berbunyi :
لَا يُصَلِّ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلٰكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَاكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا خِنْطًا
“Seseorang tidak sanggup menggantikan shalat atau puasa orang lain, tetapi beliau sanggup menggantinya (berupa fidyah) dengan makanan, setiap harinya satu mud (±1 liter) gandum.”
Hadits ini sanadnya shahih namun mauquf lantaran bersandar pada seorang sahabat, Ibnu Abbas ra. Lebih lengkapnya silahkan baca : Ibnu Abi al-’Izz al-Hanafi dalam kitabnya Syarh al-‘Aqiqoh al-Thahawiyah, editor Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan Syu’aib al-Arnauth, Dar’Alam al-Kutub, Riyadh, 1418H/1997M, cet. Ke-3, hal. 664-676.
Dalam disiplin ilmu hadits, hadits mauquf sanggup dihukumi marfu’ (nilainya sama dengan hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad saw.), jikalau matan-nya tidak berkaitan dengan masalah. Masalah ijtihadiyah, menyerupai hal-hal ghaib, turunnya Al-Qur’an dan lain sebagainya. Karenanya, hadits mauquf dari Ibnu Abbas di atas sanggup dihukumi marfu’. Sebab Ibnu Abbas mustahil mengetahui sampainya pahala fidyah pada orang mati, kecuali dari ijtihadnya. Tetapi, hadits sebelumnya yang menguatkan pendapat pertama itu hadits marfu’. Dengan demikian, berdasarkan kami, dalam segi kehujjahannya, hadits marfu’ yang shahih tentu lebih utama daripada hadits mauquf yang dihukumi marfu’. Meskipun keduanya mempunyai sanad shahih.
Kendati demikian, kita tetap harus menghormati saudara-saudara kita yang membayar fidyah untuk mengganti shalat atau puasa orang yang meninggal. Karena mereka mempunyai landasan dan dalil di atas. Tentu dengan catatan, hadits Ibnu Abbas itu tidak sanggup dijadikan dalil kebolehan meninggalkan shalat tanpa udzur, kemudian diganti fidyah. Dengan adanya saling pengertian ini, maka pintu perpecahan antar kelompok umat Islam akan semakin tertutup rapat. Semoga ini menjadi materi renungan.
Wallahu A’lam
Oleh : Prof. DR. KH. Ali Mustafa Ya’kub, MA
Comments
Post a Comment