Kisah Pembunuhan Cucu Rasulullah Saw. (Bag. 1)
Saya mempunyai kitab Huqbah min at-Tarikh, yang mana muallifnya saya rasa dari kaum salafi. Isi kitab ini saya rasa paling adil dan ringkas dalam pelurusan sejarah terbunuhnya Sayyidina Husein ra. di Karbala. Sebab aneka macam kisah yang menyimpang ataupun palsu bertebaran perihal peristiwa pilu ini. Dan kitab ini salah satunya meluruskan sejarah tersebut.
Kemudian secara tidak sengaja saya menemukan ringkasannya dalam bahasa Indonesia yang dialihbahasakan oleh saudara kita dari kaum salafi. Tidak apa-apa. Sebab informasi ini berdasarkan saya sangat penting sehingga kita terhindar dari mencela atau melaknat seseorang tertentu, apalagi kita yang notabene Ahlussunnah wal Jama'ah mempunyai metode mutlak yang tidak membolehkan sembarangan melaknat perorangan. Berikut uraiannya:
Pembahasan perihal terbunuhnya cucu Rasulullah, asy-syahid Husein bin Ali ra. telah banyak ditulis, namun beberapa orang ikhwan meminta saya biar menulis sebuah kisah sahih yang benar-benar bersumber dari para mahir sejarah. Maka saya pun menulis ringkasan kisah tersebut sebagai berikut –sebelumnya Syaikh telah menulis secara rinci perihal kisah terbunuhnya Sayyidina Husein di kitab dia Huqbah min at-Tarikh-.
Pada tahun 60 H, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan wafat, penduduk Irak mendengar kabar bahwa Husein bin Ali belum berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Maka orang-orang Irak mengirimkan utusan kepada Husein yang membawakan baiat mereka secara tertulis kepadanya. Penduduk Irak tidak ingin kalau Yazid bin Muawiyah yang menjadi khalifah, bahkan mereka tidak menginginkan Muawiyah, Utsman, Umar, dan Abu Bakar menjadi khalifah, yang mereka inginkan yaitu Ali dan anak keturunannya menjadi pemimpin umat Islam. Melalui utusan tersebut sampailah 500 pucuk surat lebih yang menyatakan akan membaiat Husein sebagai khalifah.
Setelah surat itu hingga di Mekah, Husein tidak terburu-buru membenarkan isi surat itu. Ia mengirimkan sepupunya yang berjulukan Muslim bin Aqil untuk meneliti kebenaran kabar baiat ini. Sesampainya Muslim di Kufah, ia menyaksikan banyak orang yang sangat menginginkan Husein menjadi khalifah. Lalu mereka membaiat Husein melalui mediator Muslim bin Aqil. Baiat itu terjadi di kediaman Hani’ bin Urwah.
Kabar pembaiatan Husein ini terdengar oleh Yazid bin Muawiyah di ibu kota kekhalifahan, Syam. Lalu ia mengutus Ubaidullah bin Ziyad menuju Kufah untuk mencegah Husein masuk ke Irak dan meredam pemberontakan penduduk Kufah terhadap otoritas kekhalifahan. Berangkatlah Ubaidillah ke Kufah. Setibanya di Kufah, ternyata dilema ini sudah sangat memanas. Ia terus menanyakan perihal ini hingga jadinya ia mengetahui bahwa kediaman Hani’ bin Urwah yaitu sebagai tempat berlangsungnya pembaiatan dan disitu juga Muslim bin Aqil tinggal.
Ubaidullah menemui Hani’ bin Urwah dan menanyakannya perihal gejolak di Kufah. Ubaidullah ingin mendengar sendiri klarifikasi pribadi dari Hani’ bin Urwah walaupun bahwasanya ia sudah tahu perihal segala kabar yang beredar. Dengan berani dan penuh tanggung jawab terhadap keluarga Nabi (Muslim bin Aqil yaitu keponakan Nabi), Hani’ bin Urwah mengatakan, “Demi Allah, sekiranya (Muslim bin Aqil) bersembunyi di kedua telapak kakiku ini, saya tidak akan memberitahukannya kepadamu!” Ubaidullah lantas memukulnya dan memerintahkan biar ia ditahan.
Mendengar kabar bahwa Ubaidullah memenjarakan Hani’ bin Urwah, Muslim bin Aqil bersama 4000 orang yang membaiatnya mengepung istana Ubaidullah bin Ziyad. Pengepungan itu terjadi di siang hari. Ubaidullah bin Ziyad merespon bahaya Muslim bin Aqil dengan menyampaikan akan mendatangkan sejumlah pasukan dari Syam. Ternyata gertakan Ubaidullah menciptakan takut Syiah (pembela) Husein ini. Mereka pun berkhianat dan berlari meninggalkan Muslim bin Aqil hingga tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil, dan belumlah matahari terbenam hanya tersisa Muslim bin Aqil seorang diri.
Muslim bin Aqil pun ditangkap dan Ubaidullah memerintahkan biar ia dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim bin Aqil meminta izin untuk mengirim surat kepada Husein. Keinginan terakhirnya dikabulkan oleh Ubaidullah bin Ziyad. Isi surat Muslim kepada Husein yaitu “Pulanglah kepada keluargamu! Jangan engkau tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak mempunyai pandangan (untuk mempertimbangkan masalah)”. Muslim bin Aqil pun dibunuh, padahal dikala itu yaitu hari Arafah (9 Dzulhijjah).
Sementara itu, Husein telah berangkat dari Mekah menuju Kufah di hari tarwiyah (8 Dzulhijjah), sehari sebelum terbunuhnya Muslim bin Aqil. Banyak para sobat Nabi menasihatinya biar tidak pergi ke Kufah. Di antara yang menasihatinya yaitu Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Amr, saudara tiri Husein, Muhammad al-Hanafiyah dan sobat Nabi lainnya.
Abu Said al-Khudri ra. mengatakan, “Sesungguhnya saya yaitu seorang penasihat untukmu, dan saya sangat menyayangimu. Telah hingga gosip kepadaku bahwa orang-orang yang mengaku sebagai Syiahmu (pembelamu) di Kufah menulis surat kepadamu. Mereka mengajakmu untuk bergabung bersama mereka, janganlah engkau pergi bergabung bersama mereka alasannya yaitu saya mendengar ayahmu, Ali bin Abi Thalib, menyampaikan perihal penduduk Kufah, ‘Demi Allah, saya bosan dan benci kepada mereka, demikian juga mereka bosan dan benci kepadaku. Mereka tidak mempunyai perilaku memenuhi kesepakatan sedikit pun. Niat dan kesungguhan mereka tidak ada dalam suatu permasalahan (mudah berubah). Mereka juga bukan orang-orang yang sabar ketika menghadapi pedang (penakut)’.
Abdullah bin Umar ra. mengatakan: “Aku hendak memberikan kepadamu beberapa kalimat. Sesungguhnya Jibril tiba kepada Nabi saw. Kemudian memperlihatkan dua pilihan kepada dia antara dunia dan akhirat, maka dia menentukan alam abadi dan tidak menginginkan dunia. Engkau yaitu darah dagingnya, Demi Allah, tidaklah Allah memperlihatkan atau menghindarkan kalian (ahlul bait) dari suatu hal, kecuali hal itu yaitu yang terbaik untuk kalian”. Husein tetap enggan membatalkan keberangkatannya. Abdullah bin Umar pun menangis, kemudian mengatakan, “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan”.
Setelah meneruskan keberangkatannya, datanglah kabar kepada Husein perihal tewasnya Muslim bin Aqil. Husein pun sadar bahwa keputusannya ke Irak keliru, dan ia hendak pulang menuju Mekah atau Madinah, namun bawah umur Muslim bin Aqil mengatakan, “Janganlah engkau pulang, hingga kita menuntut aturan atas terbunuhnya ayah kami”. Karena menghormati Muslim bin Aqil dan berempati terhadap anak-anaknya, Husein jadinya tetap berangkat menuju Kufah dengan tujuan menuntut sanksi bagi pembunuh Muslim bin Aqil.
Bersamaan dengan itu, Ubaidullah bin Ziyad telah mengutus al-Hurru bin Yazid at-Tamimi dengan membawa 1000 pasukan untuk menghadang Husein biar tidak memasuki Kufah. Bertemulah al-Hurru dengan Husein di Qadisiyah, ia mencoba menghalangi Husein biar tidak masuk ke Kufah. Husein mengatakan, “Celakalah ibumu, menjauhlah dariku”. Al-Hurru menjawab, “Demi Allah, kalau saja yang menyampaikan itu yaitu orang selainmu akan saya balas dengan menghinanya dan menghina ibunya, tapi apa yang akan saya katakan kepadamu, ibumu yaitu perempuan yang paling mulia”.
Saat Husein menginjakkan kakinya di kawasan Karbala, tibalah 4000 pasukan lainnya yang dikirim oleh Ubaidullah bin Ziyad dengan pimpinan pasukan Umar bin Sa’ad. Husein mengatakan, “Apa nama tempat ini?” Orang-orang menjawab, “Ini yaitu kawasan Karbala.” Kemudian Husein menanggapi, “Karbun (musibah) dan bala’ (bencana).”
Melihat pasukan dalam jumlah yang sangat besar, Husein ra. menyadari tidak ada peluang baginya. Lalu ia mengatakan, “Aku ada dua alternatif pilihan; 1). Kalian mengawal (menjamin keamananku) pulang atau 2). Kalian biarkan saya pergi menghadap Yazid di Syam". Umar bin Sa'ad menjawab: "Engkau pergi saja menghadap Yazid, tapi sebelumnya saya akan menghadap Ubaidullah bin Ziyad terlebih dahulu". Setelah menghadap ke Ubaidullah, ternyata Ubaidullah menolak jikalau Husein pergi menghadap Yazid sendiri. Ia menginginkan biar Husein ditawan menghadapnya berdasarkan bujukan Syamr bin Dzi al-Jausyan. Mendengar hal itu Husein pun menolak untuk menjadi tawanan. (Bersambung)
Comments
Post a Comment