Biografi Imam Ahmad Ar-Rifa’I (Bag. 1)
Lahir dan masa belajar
Suatu ketika tiba seorang perjaka ke negeri Irak dan menetap di tempat berjulukan Batha’ih, tepatnya di desa Ummi Abidah. Kemudian perjaka yang biasa disebut Ali itu menyunting salah satu saudari Syaikh Manshur (salah satu ulama terkemuka dan zuhud) yang berjulukan Fatima. Dari jalinan kasih keduanya, mereka dikarunai beberapa putra. Di antaranya yaitu Sayyid Ahmad ar-Rifai.
Menurut sebagian riwayat, Sayyid Ahmad ar-Rifa’i lahir pada awal bulan Muharam tahun 500 H. di Irak. Sebelum lahir, ar-Rifa’i sudah dibanggakan oleh sejumlah ulama terkemuka kala itu, di antaranya Syaikh al-Kabir Tajul Arifin Abul Wafa, Syaikh Mansur, Syaikh Ahmad Khumais dan lainnya.
Nasab ar-Rifa’i
Garis keturunan ar-Rifa’i bersambung kepada Nabi Muhammad saw. dari jalur Sayyidina Husain, cucu Rasulullah saw. Lengkapnya sebagai berikut; ar-Rifai bin Ali bin Yahya bin Sayyid Tsabit bin Hazim Ali bin Sayyid Ahmad bin Ali bin Hasan bin Rifa’ah al-Hasyimi al-Makki bin Sayyid Mahdi bin Abil-Qasim Muhammad bin Hasan bin Sayyid Husain ar-Radli bin Sayyid Ahmad al-Akbar bin Musa ast-Tsani bin Ibrahim al-Murtadla bin Sayyid Musa al-Kadzim bin Sayyidina Ja’far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyid Zainal Abidin Ali As-Sujjad bin Sayyid Husain bin Sayyidina Ali Amirul Mu’minin dengan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw. Sedangkan dari jalur ibu, nasab ar-Rifa’i bersambung kepada salah satu sahabat Nabi yang berjulukan Abu Ayyub al-Anshari.
Masa-Masa Belajar
Ar-Rifa’i kecil lahir sebagai anak yatim. Beliau tidak pernah mencicipi indahnya bercanda dengan sang ayah, tidak pernah mencicipi hangatnya pelukan dan kasih sayang dari ayah tercinta. Beliau juga tidak pernah mendapatkan petuah dan ilmu agama darinya. Sebab, sang ayah telah dipanggil Ilahi Rabbi ketika ar-Rifa’i masih berada dalam kandungan. Hanya saja, hal itu tidak membuatnya kecil hati. Beliau tetap semangat dalam mencari ilmu. Sejak kecil ar-Rifa’i diasuh oleh pamanya, Syaikh Mansur. Ar-Rifa’i berguru kepada pamannya, ihwal tarekat Sufiyah, ilmu Tasawuf, ilmu Syariah dan Hakikat. Bahkan ar-Rifa’i menerima ijazah dari sang paman. Sedangkan dalam ilmu Fiqih, ar-Rifa’i berguru kepada Abul-Fadhl al-Wasithi yang dikenal dengan Ibnul-Qari. Selain itu ia juga berguru kepada beberapa ulama dengan rajin dan ulet hingga berumur 27 tahun. Di antara gurunya yaitu Syaikh Abu Bakar al-Wasthi.
Mendapat ilmu Ladunni
Semenjak kecil ar-Rifa’i tekun menuntut aneka macam disiplin ilmu. Setiap ada majlis ta’lim, ar-Rifa’i tidak pernah bolos untuk mengikutinya. Sebab ketekunan dan istiqamahnya, Allah swt. menganugerahinya ilmu rohbani, yaitu ilmu ladunni, ilmu yang eksklusif diberi oleh Allah. Tak pelak, kalau dikala ar-Rifa’i tumbuh remaja ia tampil sebagai rujukan masyarakat. Semua dilema yang terjadi eksklusif dijawab oleh ar-Rifa’i secara detail lengkap dengan referensinya.
Pernah suatu ketika, di sebuah desa berjulukan Ummu Ubaidah, para pejabat, pembesar ulama, masyayikh dan masyarakat umum berlebur mengikuti pengajian Syaikh Ahmad ar-Rifa’i. Pengajian yang dikala itu diikuti sekitar 100.000 orang. Semua berbondong-bondong mendengarkan nasihat dan mauidhahnya. Setelah pengajian, pembesar ulama Irak dan ulama lainnya mendatangi ar-Rifa’i guna menanyakan ihwal kasus agama. Aneka ragam pertanyaan ihwal Tafsir, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih dan lainnya segera dilontarkan kepadanya. Pertanyaan itu mencapai 200 soal seputar problema faktual masyarakat. Semua itu dijawab oleh ar-Rifa’i tanpa merubah tempat duduknya. Lalu ada hadirin yang bangkit seraya berkata, “Apakah kalian sudah cukup dengan ini?, demi Allah, seandainya kalian bertanya pada ar-Rifa’i segala bidang ilmu, maka dengan izin Allah ar-Rifa’i menjawab semua pertanyaan itu tanpa paksaan.” Lalu ar-Rifa’i tersenyum dan berkata, “Ajaklah mereka, untuk bertanya padaku sebelum saya tiada dari dunia ini. Karena bersama-sama dunia sirna, sedangkan Allah swt. berada dimana-mana.”
Syahdan, di ruangan masjid terdengar bunyi menggemuruh, bunyi tangis menghiasi suasana majlis. Pengajian itu dibanjiri dengan tetesan air mata dari para jamaah, semua menangis mendengarkan perkataan ar-Rifa’i. Bahkan, 5 orang hingga meninggal. Lebih jauh, sebanyak 80.000 jamaah eksklusif memeluk Islam, sementara 40.000 jamaah menyatakan bertobat.
Mencintai Anak-anak Yatim dan Orang Miskin
Ar-Rifa’i tumbuh sebagai pribadi yang disegani oleh masyarakat. Baik dari kalangan atas ataupun kalangan bawah. Ini bisa dilihat dari kebiasaan ia bermasyarakat. Selain ibadah dan zikir kepada Allah swt., ia tidak serta merta melupakan masyarakat sekitarnya. Terlihat ar-Rifa’i suka berkumpul bersama anak yatim dan fakir-miskin. Setiap hari ar-Rifa’i mendidik dan mengajar anak yatim ihwal Syariat Islam. Ar-Rifa’i juga sering memberi makan dan bingkisan kebutuhan sehari kepada mereka. Rasa sayang ar-Rifa’i kepada anak yatim tak ubahnya ia mencintai keluarganya sendiri, sehingga terkadang ar-Rifa’i merasa iba dan terharu dikala melihat anak yatim menangis. Ar-Rifa’i berkata, “Ketika saya melihat anak yatim menangis, maka seluruh badanku bergoncang keras.” Dan tanpa terasa deraian air mata membasahi pipi ar-Rifa’i.
Selain sangat cinta kepada anak yatim, ar-Rifa’i juga hobi bercengkrama dengan masyarakat yang kurang mampu. Hampir setiap hari ia bersama mereka. Bahkan, ia sering memenuhi kebutuhan mereka serta memberinya uang tanpa meminta imbalan dan banyak pertanyaan. Pada suatu hari, ar-Rifa’i mengumpulkan kayu bakar. Setelah kayu bakar terkumpul ar-Rifa’i kemudian membagi-bagi kayu itu kepada orang miskin, anak nyatim, orang sakit, tokoh masyarakat dan kepada teman-temanya. Ar-Rifa’i juga sering berkumpul makan dengan mereka, bahkan ia juga pernah mencucikan baju temanya tanpa ada rasa malu. Semua itu ia lakukan sebagai mediator mendekatkan diri kepada Allah swt. Ar-Rifa’i berkata, “Syafaqah (kasih sayang) kepada saudara kita termasuk media yang sanggup mendekatkan diri kepada Allah swt”.
Sebab, kasih sayang ar-Rifa’i pada mereka, ar-Rifa’i menerima gelar Abal-Aytam dan Abal-Miskin (ayah anak yatim dan orang miskin). Berkat kemuliaan sopan santun dan kasih sayangnya, banyak masyarakat yang memeluk pedoman Islam. Selain kepada anak yatim dan golongan miskin, kasih sayang ar-Rifa’i juga kepada para ulama, tokoh masyarakat, tetangga, guru, orang buta, orang sakit dan orang pincang.
Pujian Dari Para Ulama
Perangai seorang ulama besar menawarkan efek yang sangat baik bagi masyarakat umum. Terutama dari para ulama baik dari para Muhadditsin, para Fuqaha’. Semua mengakui atas kewalian dan ibadah yang ia tekuni. Salah satunya yaitu dari ulama fiqih yang terkenal di kalangan ulama, ia yaitu Imam Ar-Rafi’i (ulama fiqih). Imam Ar-Rafi’i berkata dalam salah satu naskahnya, “Bercerita padaku as-Syaikh Abu Syuja’ as-Syafi’i, ia bercerita, ‘As-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i yaitu sosok ulama yang karam dalam keilmuan, ilmu yang didapat menancap di dadanya, muhaddits dan faqih (faham dalam kasus fiqih), mufassir yang mempunyai sanad yang lengkap’.”
Imam adz-Dzahaby ra. berkata ihwal biografi Imam Ahmad ar-Rifa’i, “Imam Ahmad ar-Rifa’i yaitu termasuk imam (pemimpin), hebat ibadah, zuhud (tidak bahagia dengan dunia), dan Syaikhul-arifîn (guru para ma’rifatullah). Dan masih banyak ulama baik dari bidang hadits, fiqih dan sejarah mengakui atas kewalian dan perangai sebagai hamba yang selalu ingat pada Allah. Dan juga banyak yang tertarik untuk menceritakan biografi Imam Ahmad Ar-Rifa’i, di antaranya Imam as-Suyuti, Imam ar-Rafi’i, Imam adz-Dzahaby dalam kitab sejarahnya, dan lain-lainya.
Zuhud Dan Tawadhu’
Al-Imam Al-Ghast Al-Qathbu Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i setiap hari selalu dihiasi dengan sosok hamba yang tidak bahagia dunia. Beliau pasrahkan segala sesuatu pada Allah. Sifat zuhud inilah yang menciptakan ia diangkat menjadi Auliya’ullah. Beliau juga selalu merendahkan diri di hadapan manusia. Sifat kewalian yang ia miliki tidak menciptakan ia angkat kepala di hadapan para manusia, bahkan ia diangkat derajatnya lantaran sifat zuhud dan tawadhu’ beliau.
Imam ar-Rifa’i pernah berkata, “Selama saya menempuh suluk kepada Allah swt., saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih bersahabat (kepada Allah), lebih gampang, dan lebih baik dari kefakiran dan hina”. Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana bisa itu terjadi, Wahai Sayyidku?”. Beliau menjawab, “Muliakanlah perintah Allah swt., berbelas kasihlah pada hamba Allah, dan ikutilah sunnah Rasulullah saw.”
Mendengar Suara Ghaib
Imam ar-Rifa’i termasuk pembesar ulama yang sangat masyhur di zamannya. Beliau sempat terkenal alasannya yaitu insiden yang menggegerkan jamaah haji yang menyertainya. Keajaiban sebuah karomah tampak kepada para jamaah haji, yaitu ia mencium dan mendengar tanggapan Rasulullah saw.
Diceritakan, sebelum berangkat haji salah satu jamaah Imam Ahmad ar-Rifa’i, as-Syaikh al-Jalil al-Fadhil Abu Hafidz Umar al-Farumi, berada di majlis Imam Ahmad ar-Rifa’i. Semua ulama, masyarakat di tempat dan pejabat berkumpul di majlis guna mengikuti pengajian Imam Ahmad ar-Rifa’i. Saat itu semua jamaah saling berdiskusi ihwal kasus agama dan ada juga yang bercerita tentang keajaiban dan karomah seorang wali. Semua permasalahan eksklusif ditanyakan pada Imam Ahmad ar-Rifa’i. Pada dikala Imam Ahmad ar-Rifa’i ditanya ihwal asrarul gharibah (kejadian yang asing) dan asrarul ‘ajibah (di balik diam-diam keajaiban), Imam Ahmad ar-Rifa’i tiba-tiba bangkit sambil melihat ke atas, seraya berkata, “Telah nampak kasus yang benar dan telah terang kebenaran. Aku mendengar bunyi sedang memanggilku, ‘Wahai Ahmad, berdirilah dan pergilah ke Baitullah, dan berziarahlah ke makam datukmu saw. Karena bersama-sama disana engkau akan menerima pesan berupa dakwah dari Rasulullah saw.’ Setelah insiden aneh itu Imam Ahmad ar-Rifa’i berangkat bersama para rombongan jamaah haji.
Mencium Tangan Rasulullah saw.
Pada tahun 555 H. dikala itu Imam ar-Rifa’i berumur 43 tahun, ia berangkat ke Mekkah untuk melakukan haji. Setelah di Mekkah ia pergi ke Madinah untuk beziarah ke makam datuknya Rasulullah saw. Setelah hingga di Madinah, ar-Rifa’i dan para jamaahnya menuju masjid makam Rasulullah saw. di masjid Nabawi. Saat itu nampak pada para jamaah, karomah Imam ar-Rifa’i, para jamaah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Rasulullah saw. menjawab salam dari Imam ar-Rifa’i. Ar-Rifa’i berkata “Assalamu ‘alaikum Wahai datukku.”. Lalu tiba dari dalam Hujroh Rasulullah suara, “Wa’alaikum salam Wahai anakku”. Ar-Rifai kemudian masuk ke dalamnya dalam keadaaan gemetar dan menggigil sehingga warna kulitnya menjadi kekuning-kuningan dan ar-Rifai berlutut sambil menangis seraya berkata, “Dari kejauhan saya kirimkan ruhku untuk selalu mengingatmu sebagai perwakilanku, maka dalam kesempatan ini saya bisa melihat dengan seluruh jasadku padamu secara kasat mata. Maka saya mohon ulurkanlah tanganmu supaya saya bisa mencium tanganmu”.
Syahdan, tangan Rasulullah saw. keluar dari makamnya, ar-Rifai’ pun eksklusif menciumnya, sebagaimana yang diminta oleh ar-Rifa’i. Semua jamaah haji yang ikut serta melihat dan mendengar eksklusif karomah Imam as-Syaikh al-Mursyid al-Ghaits az-Zahid al-Arif imamul-Akbar Sayyid Abul Abbas Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir. Kejadian ini 23 tahun sebelum Imam ar-Rifa’i dipanggil di pangkuan Allah (wafat).
Dibaiat Langsung Oleh Rasulullah saw.
Pada waktu Imam Ahmad ar-Rifa’i mencium tangan Rasulullah saw., ia dibaiat eksklusif oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. berkata pada Imam ar-Rifa’I, “Wahai anakku, pakailah selendang hitam dan naiklah ke atas mimbar kemudian berkhutbahlah di depan para manusia. Baiat ini saya serahkan padamu dan kepada keturunanmu hingga hari kiamat”. Lalu ar-Rifa’i keluar dan melakukan perintah dari Rasulullah saw. Semua jamaah haji yang hadir dikala itu mencapai 90.000 orang, semua menyaksikan eksklusif karomah dan pembaiatan Imam ar-Rifa’i.
Dilihat Langsung Oleh Sulthanul Auliya’ Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Di antara jamaah yang yang melihat eksklusif insiden itu mulai dari para ulama, tokoh masyarakat, pejabat, dan masyarakat umum dari menengah atas hingga masyarakat bawah. Di antara ulama yaitu Sulthanul Auliya’ as-Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Sayyid Adiy bin Musafir as-Syamy, as-Syaikh Ali bin Khamis, as-Syaikh Hayat bin Qais al-Harany.
Wali al-Ghauts al-Qutb
Ar-Rifa’i tumbuh sebagai pribadi yang alim, zuhud, wara’, seorang hebat ibadah, hebat tasawuf, dan hebat fiqih yang bermadzhab Syafi’i. “Imam ar-Rifai yaitu seorang panutan, zuhud dan gurunya orang yang ma’rifat.” kata Imam adz-Dzahabi.
Beliau termasuk salah satu wali al-Qutb al-Ghauts. Beliau mempunyai banyak pengikut dan santri. Mayoritas mereka dari kalangan orang fakir. Mereka diberi nama ar-Rifa’iyah, Ahmadiyah dan Batha’ihiyah. Jika malam Nisfu Sya’ban tiba, orang-orang yang datang mengikuti majlis ia kurang lebih 100.000 jiwa. Konon, santri-santri ia mempunyai kehebatan memukau. Mereka bisa menunggangi binatang liar, bermain ular bahkan mereka tidak segan-segan melompat dari pohon kurma yang begitu tinggi. Anehnya, mereka baik-baik saja dan tidak mencicipi sakit sedikitpun.
Di Angkat Menjadi Pemimpin Para Wali
Sebagaimana sudah diketahui di antara para jumhurul-ulama’ bahwa Imam ar-Rifa’i termasuk dari para kekasih Allah. Bahkan ia termasuk juga dari king of the king para kekasih Allah dikala itu. Ini bisa dilihat dari salah satu mimpi yang dilihat oleh khala-nya (paman dari ibu) Imam ar-Rifa’i, ia yaitu Sayyid as-Syaikh Mansur al-Anshari. Beliau (paman Imam ar-Rifa’i) berkata, “Saya bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., 40 hari sebelum anak dari saudara wanita saya dilahirkan, kemudian Beliau saw. berkata kepadaku, ‘Wahai Manshur, saya membawa isu gembira kepadamu bahwa Allah memberi karunia seorang anak sehabis 40 hari, dia berjulukan Ahmad ar-Rifa’i, dia juga sama ibarat halnya aku, bila saya yaitu pemimpin para anbiya’, maka keponakanmu (Imam ar-Rifa’i) yaitu pemimpin para auliya’ullah’.”
Setelah Imam ar-Rifa’i lahir ke alam dunia, ia menjadi sosok bocah yang hebat ibadah. Meski umur yang masih balita, ia sudah beribadah ibarat halnya seorang dewasa. ketika ia masih kecil ia sudah berpuasa satu hari full. Dikatakan dari saudara radha’ (sesusuan) Imam ar-Rifa’i pada bulan Ramadhan, “Sesungguhnya Ahmad tidak mau meminum susu pada waktu siang hari, maka saya menyangka bahwa ada sesuatu yang tidak menciptakan dia suka. Tapi ketika matahari terbenam, Ahmad mendapatkan dan mau meminum susunya”.
Ditunjuk Oleh Rasulullah saw.
Beliau tumbuh menjadi seorang pemimpin thariqah Ar-Rifa’iyah dan menjadi Wali yang zuhud (tidak mau dunia), ‘arif (ma’rifatullah), ‘alim, dan dermawan. Jamaah yang mengikuti thariqah Ar-Rifa’iyah semakin pesat. Satu persatu orang tiba untuk mengikuti thariqah dan suluk Imam ar-Rifa’i ,untuk hingga kepada Allah, mulai dari tingkatan atas hingga tingkatan bawah. Beliau juga menjadi rujukan para pengikutnya dalam kasus wushul dan suluk kepada Allah. Sebagaimana dialami oleh Imam Muhammad Mahdi ar-Rawwas yang menerima taujihat dari Rasulullah saw. dalam mimpinya. Imam Mahdi ar-Rawwas berkata dalam mimpinya, “Saya memimta petunjuk pada Rasulullah, ‘Berilah saya jalan menuju kebenaran Wahai, Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘Al-Qur’anul Karim yaitu jalan yang kau cari’. Saya mengadu lagi, ‘Berilah saya jalan (suluk) menuju Allah, Wahai, Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘Berpegang teguhlah pada anakku yaitu Ahmad Ar-Rifa’i dan kau akan hingga kepada Allah. Sedangkan dia yaitu Sayyidnya para auliya’ (kekasih) umatku. Setelah auliya’ masa ketiga. Dan dia juga mempunyai derajat yang tinggi daripada auliya’ di masanya’. ” (bersambung)
Baca Juga : Biografi Imam Ahmad ar-Rifa’i (bag. 2)
Comments
Post a Comment