Kisah Kerendahan Hati Imam Ahmad Ar-Rifa’I
Imam Ahmad Abul Abbas bin Ali Ar-Rifa’i (512 – 578 H), Pendiri Thariqah Rifa’iyyah yang bergelar Abul Ilmain (bapak dua ilmu: Syari’ah dan Thariqah, ilmu lahir dan ilmu batin), sebuah gelar yang sangat istimewa alasannya yaitu menggabungkan dua ilmu yang secara konseptual terang berbeda dan tidak jarang bertolak belakang. Di antara perkataan Imam Ar-Rifa’i yang patut kita renungi adalah:
سلكت كل الطرق الموصلة، فما رأيت أقرب ولا أسهل ولا أصلح من الإفتقار والذل والإنكسار.
“Aku telah menapaki seluruh jalan menuju Allah. Dan saya tidak menemukan jalan yang lebih dekat, lebih gampang dan lebih patut daripada ‘rasa membutuhkan’, rasa hina diri dan rasa bahwa diri ini tiada artinya di hadapan Allah”.
Mendengar perkataan Imam Ar-Rifa’i itu, salah seorang muridnya bertanya, “Bagaimana hal itu dapat dilakukan?”. Imam Ar-Rifa’i menjawab, “Dengan selalu mengagungkan perintah Allah, mengasihi makhluk-Nya dan menjalankan sunnah Nabi-Nya”.
Sebagai perwujudan atas pernyataannya itu, Imam Ar-Rifa’i ibarat diriwayatkan oleh banyak muridnya, dia yaitu orang yang benar-benar tawadhu (rendah diri). Beliau tercatat selalu melayani keperluannya sendiri, menjahit sandalnya sendiri, mengumpulkan kayu bakar dan mengikatnya kemudian memanggulnya serta membagikannya ke rumah-rumah para janda, kaum miskin dan dhu’afa. Beliau selalu mencarikan sandal bagi orang buta dan menuntunnya sampai tujuan yang dikehendakinya. Bahkan dia sering mengunjungi kaum papa untuk mencucikan baju mereka, memasakkan dan bahkan tidak jarang menyuapi mereka untuk kemudian mendoakan mereka biar mendapat segala rahmat Allah swt. Kesemuanya itu, Imam Ar-Rifa’i lakukan tanpa meminta derma para santri dan muridnya yang berjumlah ribuan itu.
Lebih jauh, para penulis otobiografi Imam Ar-Rifa’i menyatakan bahwa harta kekayaan yang diterima dia dari hasil pertanian, melebihi kekayaan para pangeran dan raja pada masanya. Namun begitu, ternyata dia hanya ingin mempunyai beberapa potong baju yang dipakainya silih berganti untuk ekspresi dominan panas dan ekspresi dominan dingin. Adapun kekayaannya yang melimpah itu, ternyata selalu dia bagikan kepada kaum fakir miskin dan yatim piatu. Seraya dia berkata, “Untuk apa kekayaan dunia ini, jikalau saya tidak dapat membantu sesama?”.
Sejumlah ulama yang hidup semasa Imam Ar-Rifa’i meyakini bahwa segala maqam dan posisi keilmuan serta keulamaan yang dia raih selama hidupnya yaitu bertitik tolak dari sikapnya yang mengasihi sesama insan itu. Sungguh suatu suri tauladan yang jelas-jelas sangat jarang atau bahkan mungkin tidak lagi kita temukan pada masa kita kini ini.
Maka nama Imam Ar-Rifa’i pun semakin berkibar populer ke seantero negeri dan bahkan aneka macam penjuru dunia dari dulu sampai kini. Begitu populer dan disegani mitra maupun lawan. Hingga suatu ketika, seorang Yahudi yang mendengar kebesaran nama Imam Ar-Rifa’i ingin menguji beliau. Maka si Yahudi itu mendatangi Imam Ar-Rifa’i yang tengah memperlihatkan pengajian umum di hadapan ratusan muridnya. Bertanyalah si Yahudi, “Wahai Tuan, lebih baik manakah engkau dibanding dengan anjing?”. Astaghfirullahal ‘Adzim. Sebuah pertanyaan provokatif yang disamping tidak sopan juga sangat menusuk perasaan.
Mendengar pertanyaan itu, Imam Ar-Rifa’i sedikitpun tidak murka atau tersinggung. Dan dengan nada bunyi yang tenang, dia menjawab, “Jika kelak di hari Kiamat saya selamat dari meniti jembatan (shirath), maka tentu saja saya lebih baik daripada anjing”.
Alhamdulillah, begitu sejuk balasan Imam Ar-Rifa’i. Begitu indah, sopan dan penuh kerendahan hati. Dan perilaku inilah yang kemudian dengan serta merta mendorong si Yahudi itu untuk segera masuk Islam beserta seluruh keluarga, kerabat dan pengikutnya.
Wallahu A’lam
Sumber : Mauidhah KH. A. Nadhif Abdul Mujib
Comments
Post a Comment