Kontroversi Aturan Shalat Jum’At Di Sekolahan Atau Lapangan

Pertanyaan :
Saya mau menanyakan bagaimana hukumya sholat Jumat yang dilakukan di sekolah? Dengan jamaah terdiri dari guru dan murid di sekolah tersebut. Sedangkan khotib dan bilalnya mereka mengundang dari luar sekolah. Apakah sah Jumatannya? Sedangkan murid serta guru tersebut bukan orang yang mukim di situ. Katakanlah mereka tiba dari luar kecamatan sekolah tersebut.

Jawaban :
Pendahuluan
Jum’at yaitu salah satu hari istimewa umat Islam, mempunyai segudang diam-diam samawi yang tidak terjangkau oleh logika kita. Tonggak agama yang mengakar pada ritual shalat fardhu menjadi lebih sarat akan makna, ketika waktu ini menjadi hari istimewa dengan perintah menjalankan syiar shalat Jum’at ditengah umat. Melalui sebuah ayat dari surat al-Jumu’ah ayat 9, Allah memberikan perintah:

يَأيها الذيْنَ أَمَنُوا إِذَا نُودِى للصَّلاَةِ مِنْ يَومِ الجُمُعَةِ فَاسْعَوا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا البَيْعَ , ذَلِكْمُ خَيْرٌ لَكْم إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kau kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jikalau kau mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah : 9)

Shalat Jum’at sebagai sebuah rutinitas ritual, menjadi penopang syiar yang efektif dalam membentuk sebuah tradisi jama’i, yaitu kenginan untuk berpegang pada tali Allah dalam rangka berjuang mengangkat panji-panji Islam. Shalat Jum’at ini dibebankan secara wajib (taklif) bagi mereka yang masuk kategori laki-laki, baligh, berakal, merdeka, bertempat tinggal dengan tanpa ada udzur syar'i (alasan keringanan syariat). Taklif ini berdasarkan mazhab Syafi'i, mazhab yang dianut dominan umat Islam Indonesia, yaitu fardhu ‘ain/kewajiban individu. Secara konkret, perintah dalam redaksi ayat “fas'au ila dzikrillah” (maka bersegeralah kau kepada mengingat Allah) terang memberikan kewajiban. Artinya, sebab tujuan dari bersegera dalam ayat itu diperintahkan sebagai kewajiban, tujuannyapun tentu menjadi wajib. Artinya, sebab tujuan dari bergegas yaitu shalat Jum’at, berarti shalat Jum’at juga menjadi wajib.

Beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebagai syarat sah dalam shalat Jum’at meliputi empat hal :

1.) Dilakukan secara total di waktu dzuhur.

2.) Tempat pelaksanaan harus pada batas teritorial sebuah pemukiman yang terdiri dari bangunan perumahan, baik berupa balad (di masa kini kira-kira seluas desa) atau hanya sebatas qaryah (kira-kira seluas dusun).

3.) Tidak didahului maupun bersamaan dengan shalat Jum’at yang lain dalam satu wilayah (balad ataupun qaryah). Hal ini selama tidak ada faktor yang memperkenankan shalat Jum’at di beberapa lokasi.

4.) Dilakukan berjama’ah oleh mereka yang berstatus penduduk tetap (mustauthin) dengan jumlah minimal 40 orang.

Para ulama mazhab menyepakati adanya jama’ah sebagai syarat sah di dalam shalat Jum’at. Kesepakatan ulama yang mensyaratkan 40 orang sebagai batas minimal jumlah jama’ah yang mengikuti shalat. Argumentasi dari ketentuan ini yaitu sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi sewaktu melaksanakan shalat Jum’at pertama kali yaitu dengan jumlah jama’ah yang sebanyak itu.

Berakar dari praktek Nabi dalam melaksanakan shalat Jum’at dengan selalu berjama’ah, serta lokasi yang dipakai niscaya di dalam kota dan menetap pada satu masjid, muncullah bermacam-macam pemahaman, apakah hal itu harus diadopsi secara tekstual dan menyeluruh atau kisi-kisi maknawinya saja yang perlu diterjemahkan. Hal ini berdampak pada tata aturan baku, ihwal diperkenankannya shalat Jum’at lebih dari satu tempat. Versi yang mendasarkan pada realita di zaman Nabi, tegas menyampaikan dihentikan sebab yang dilakukan Nabi bersifat dogmatif dan harus diadopsi secara total. Versi ini merupakan pendapat Mazhab Syafi’i yang dianut oleh dominan penduduk Indonesia.

Poin permasalahan penyelenggaraan Jum’at di sekolah yaitu sebagai berikut:

Keberadaan sekolah yang berada di suatu wilayah desa yang sudah ada masjid yang menyelenggarakan shalat Jum’at, menjadikan ta’adud al-Jum’at (banyaknya penyelenggaraan Jum’at) dalam satu wilayah.

Hasil penelitian para hebat sejarah memberikan bahwa sepanjang masa kenabian Rasulullah saw. dan kepemimpinan Khulafa' al-Rasyidin, pelaksanaan ibadah Jum’at tidak pernah dilaksanakan kecuali di dalam Masjid Jami’ (satu lokasi). Dalam perjalanan kepemimpinan mereka, tidak pernah ada statement atau sikap yang menyalahkan atau menyetujui gagasan Jum’at lebih dari satu dalam sebuah tempat (desa atau dusun). Dari sinilah kemudian muncul pemahaman berbeda; apakah hal ini merupakan anutan fi'li (praktek) yang bersifat dogmatis dan harus diadopsi secara total ataukah cukup dipahami makna yang tersirat dimana ketika itu keadaannya sangat kondusif.

Mayoritas ulama Syafi’i beropini bahwa hal ini bersifat dogmatis, sehingga dalam satu desa seharusnya hanya ada satu Jum’at, kecuali ada alasan tertentu yang sanggup diterima syariat. Alasan utama yang biasanya dipakai sebagai dasar pembolehan pendirian Jum’at lebih dari satu dalam sebuah wilayah yaitu “masyaqqah” (tingkat kesulitan tertentu). Seperti terjadinya konflik yang menjadikan “ ‘usr al ijtima' ” (sulitnya dikumpulkan) atau faktor kesulitan yang terdapat dalam jauhnya jarak tempuh menuju masjid. Meski keduanya mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda, tetapi masih layak untuk dijadikan alasan bolehnya “ta’adud al-Jum’at” sebab keduanya masih termasuk dalam tataran “masyaqqah la tuhtamal ‘adatan” (tingkat kesulitan diluar batas kemampuan). Sulitnya memperluas masjid sebab lahan masjid berada diperkampungan yang padat, atau semakin banyaknya jumlah penduduk, juga disebut sebagai salah satu factor pembolehan terjadinya “ta’adudul Jumat”.

Yang menjadi permasalahan kemudian, apakah orientasi “mendidik” sebagaimana seringkali menjadi alasan penyelenggaraan shalat Jum’at di sekolah itu juga termasuk unsur “masyaqqah” yang memperbolehkan “ta’adud al-Jum’at”? Mengawali pembahasan ini, ada baiknya kita menyimak nash Hamish Sharh Sulam Taufiq halaman 25-26 berikut ini:

وَمَنْ إِنْتَقَضَ وُضُوؤُهُ حَرُمَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالطَّوَافُ وَحَمْلُ المُصْحَفِ وَمَسُّهُ إِلاَّ لِلصَّبِى لِلدِّرَاسَةِ...

“Orang yang batal wudhunya maka haram atasnya menjalankan shalat, thawaf, membawa Al-Qur’an/mushaf dan menyentuhnya kecuali bagi anak kecil untuk belajar.”

Rasulullah pernah menulis surat kepada masyarakat Yaman yang di dalamnya terdapat pernyataan:

لاَيَمَسُّ القُرْآنَ إِلاَّطَاهِرٌ 

“Tidak diperkenankan menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang dalam keadaan suci.”

Hadits ini menguatkan ayat Al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah yang menyatakan:

لاَيَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُونَ. 

“tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah : 79)

Ketentuan aturan ihwal larangan menyentuh Al-Qur’an bagi orang yang tidak suci sangatlah jelas. Namun, Imam Abdullah Ibn Husein dalam “Hamish Sharh Sulam Taufiq” menyatakan bahwa larangan itu dikecualikan untuk belajar. Dari sini sanggup kita pahami bahwa pendidikan atau pembelajaran sanggup menjadi illat/alasan aturan untuk melanggar ketentuan yang semestinya. Hanya saja kita tidak bisa tergesa-gesa menyimpulkan bahwa duduk masalah Jum’at ini bisa dijalankan dengan memakai analogi hukum/qiyas duduk masalah menyentuh Al-Qur’an.

Untuk sanggup menganalogi hukum, beberapa variabel atau illat dari aturan asal dan duduk masalah yang dicarikan keputusan aturan harus sama. Beberapa variabel diantara dua duduk masalah tersebut diantaranya adalah:

Variabel dari aturan asal
a.) Larangan menyentuh mushaf bagi yang tidak mempunyai wudlu
b.) Memegang/menyentuh mushaf bukan kewajiban yang harus dijalankan dalam tempo waktu cepat. Islam menekankan keharusan bisa membaca al Alquran tanpa ada batasan waktu.
c.) Pembolehan melanggar larangan menyentuh bagi anak kecil yang belajar.

Variabel dari duduk masalah penyelenggaraan Jumat di sekolah
a.) Larangan menyelenggarakan Jumat lebih dari satu dalam satu desa.
b.) Shalat Jumat merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan.
c.) Shalat Jumat hukumnya wajib bagi pria yang sudah dewasa.

Dari beberapa variabel yang sudah diurai diatas, maka kita sanggup melihat apakah kita bisa menganalogkan pembolehan menyentuh Al-Qur’an bagi anak kecil untuk mencar ilmu dengan pembolehan penyelenggaraan shalat Jumat disekolah untuk pembelajaran. Bila kita mencoba menggabungkan variable-variabel diatas; mencar ilmu Al-Qur’an merupakan kewajiban yang sanggup dilakukan tertunda. Sedang shalat Jum’at yaitu kewajiban yang harus segera ditunaikan bagi lelaki yang sudah baligh.

Untuk menganalogkan kedua duduk masalah ini, ada ketidak sesuaian dari variabel yang ada, yaitu pembolehan melanggar pada duduk masalah menyentuh mushaf hanya untuk anak kecil yang belajar. Kewajiban sanggup membaca Al-Qur’an dengan baik bukan kewajiban yang harus segera ditunaikan artinya sanggup berjalan pelan-pelan. Sementara itu, shalat Jum’at merupakan kewajiban yang harus segera ditunaikan. Bagi mereka yang dewasa, shalat Jum’at bukan lagi pada stadium mencar ilmu tetapi sudah pada tataran diwajibkan.

Melihat kekerabatan antar illat/variabel yang tidak sesuai, maka alasan pembelajaran dalam duduk masalah penyelenggaraan shalat Jum’at di sekolah tidak sanggup dibenarkan. Terlebih pembelajaran sanggup dijalankan bahkan eksklusif bisa dijalankan di masjid. Bahkan nilai lebih pembelajaran di masjid yaitu siswa sanggup mencar ilmu berinteraksi dengan masyarakat.



Keharusan Shalat Jumat dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk tetap.

Hampir seluruh kitab fiqih menjelaskan bahwa syarat minimal mendirikan Jum’at yaitu harus dihadiri oleh minimal 40 orang penduduk desa/dusun. Yang dimaksud penduduk ini, bukan orang yang kost atau menetap sementara di desa itu, atau orang diluar desa yang masuk pada desa itu.

Dalil-dalil yang memperkuat hujjah ini yaitu :

Hadits Nabi Muhammad saw.

أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ فِى المَدِيْنَهِ وَلَمْ يَنْتَقِلْ أَنَّهُ جَمَعَ بِأَقَلٍّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ

“Sesungguhnya Rasulullah saw. berjama’ah (jum’at) di Madinah dan tidak pernah diriwayatkan bahwa bekerjsama Rasulullah berjama’ah (jum’at) kurang dari 40 orang.”

Keterangan sahabat Jabir ra.

مَضَتْ السَّنَةٌ أَنَّ فِى كُلِّ أَرْبَعِيْنَ فَمَا فَوقَهَا جُمْعَةً

“Telah lewat beberapa tahun, bahwa Jum’at didirikan oleh 40 orang atau lebih.”

Keterangan sahabat Ka'ab Ibn Malik

أَوَّلُ مَنْ صَلَّى بِنَا الجُمْعَةٌ فِى بَقِيْع الخَصْمَاتِ أَسْعَدْ بِنْ زَرَارَةَ وَكُنَّا أَرْبَعِيْنَ.

“Orang pertama yang shalat Jum’at denganku di Baqi' al-khasman yaitu As'ad Ibn Zararah dan kami bersama 40 orang.” (HR. Ibnu Hibban dan Baihaqi)

Kifayatul Akhyar Juz 1 hal. 148 menjelaskan 40 orang yang sanggup menjadi pendukung keabsahan pendirian shalat Jum’at :

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ.

“Ketahuilah! Adapun syarat 40 orang itu, haruslah laki-laki, sudah mukallaf/baligh, merdeka (bukan budak) bermukim dalam arti menetap, tidak berpindah pada ekspresi dominan masbodoh atau panas kecuali untuk hajat. Maka tidaklah sah shalat Jumat dengan (melengkapi jumlah 40) bersama perempuan, anak kecil, hamba sahaya, orang yang bepergian (kedaerah diselenggarakannya Jumat), juga tidak sanggup (dilengkapi oleh) penduduk musiman yang berpindah pada ekspresi dominan tertentu…”

Dari keterangan ini, maka jelaslah bahwa setiap pendirian Jum’at harus dihadiri oleh penduduk setempat minimal 40 orang. Pendirian Jum’at yang didirikan oleh 40 orang yang berasal dari banyak sekali wilayah dan bukan dari wilayah dimana Jum’at diselenggarakan maka Jum’atnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 148 :

إِذَا تَقَارَبَ قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ.

“Ketika berdekatan dua buah desa, tiap-tiap dari dua desa itu tidak ada 40 orang dengan sifat yang tepat (yang memenuhi syarat perhiasan Jumat), seandainya mereka berkumpul, kemudian mencapai 40 orang, maka Jumat yang mereka dirikan tetap tidak sah! Meskipun tiap-tiap dari penduduk desa itu mendengar panggilan dari yang lain. Karena 40 itu dilengkapi oleh orang yang tidak bermukim dan menetap dari desa dimana Jumat itu didirikan.”

Kesimpulan

Dari beberapa paparan diatas, maka Jum’at yang didirikan di sekolahan atau lapangan yang tidak melibatkan penduduk setempat sebanyak 40 orang dan jarak tempuh dengan masjid lain yang mendirikan Jum’at kurang dari 1.6 km, maka Jum’atnya tidak sah. Untuk jarak kurang dari 1.6 km sanggup pula menjadi sah bila ada kesulitan mengumpulkan dalam satu masjid sebagaimana klarifikasi diatas. Shalat Jum’at dengan alasan untuk mendidik sanggup dibenarkan bila Jum’at tersebut didirikan dilingkup Sekolah Dasar atau sebagian siswa Sekolah Menengah Pertama yang belum baligh, sebab Jum’at bagi mereka belum merupakan kewajiban. Sementara untuk sebagian siswa Sekolah Menengah Pertama yang sudah baligh dan siswa Sekolah Menengan Atas maka tidak lagi sanggup memakai alasan mendidik sebab mereka sudah mempunyai kewajiban, dan tidak pada porsi mencar ilmu lagi.


Wallahu A’lam


Sumber : ppsnh.com

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Imam Qasthalani (Penulis Syarah Sahih Bukhari)

Arti Qana’Ah Berdasarkan Imam Asy-Syafi’I

Sejarah Pemalsuan Kitab Taurat Dan Injil