Pahala Mengutamakan Orang Lain

Secara garis besar, atsar-atsar kaum salafusshalih ihwal mendahulukan orang lain dan menginfakkan benda untuk memperoleh keridaan Allah banyak sekali.

Telah diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ingin sekali memakan ikan di Mekah. Kala itu ia memang sedang ‘kemaruk’ (banyak makan) sesudah sembuh dari sakit. Ia berusaha mendapat ikan tersebut di Madinah namun tidak ia dapatkan. Selang beberapa hari gres ia mendapatkannya. Ikan itu dibelinya dengan harga satu setengah dirham. Ikan dipanggang dan dihidangkan padanya beserta roti. Lantas, ada seorang peminta-minta di depan pintu rumahnya. Melihat itu segera saja Ibnu Umar memerintahkan kepada pembantunya, “Masukkanlah ikan itu ke dalam roti, kemudian berikanlah padanya!” Namun si pesuruh menolak perintahnya. Maka Ibnu Umar memperlihatkan roti itu kepada pembantunya untuk diserahkan kepada peminta-minta. Kemudian sang pembantu pun menyerahkan roti itu kepada peminta-minta seraya berkata, “Makanlah, wahai Abu Abdurrahman dengan nikmat. Kami telah membelinya seharga satu setengah dirham dan sekarang engkau mengambilnya.” Selanjutnya Abu Abdurrahman menjawab, “Lipatlah ikan itu ke dalam rotinya, dan kembalikan padanya! Tetapi janganlah kau mengambil satu dirham daripadanya, alasannya ialah saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

“Barang siapa menginginkan sesuatu kemudian menolak keinginannya dan mementingkannya untuk orang lain daripada dirinya sendiri, Allah niscaya mengampuni (dosa-dosa)nya.” (Al-Hadits)



Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra., bahwa ia telah memperlihatkan hadiah kepada seorang lelaki dari sahabat Rasulullah saw. sebuah kepala kambing. Tetapi, lelaki itu berkata, “Sesungguhnya si Fulan, saudaraku, lebih membutuhkannya dibanding aku.” Lalu kepala kambing itu dikirimkan padanya. Sesampainya di sana, berkatalah si Fulan, “Sesungguhnya si Fulan lebih membutuhkan daripada aku.” Hal menyerupai itu berulang hingga tujuh kali (tujuh kepala rumah tangga), dan balasannya kembali kepada pemberi pertama.

Dalam atsar-atsar ini terdapat sesuatu yang layak dijadikan hikmah bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Kemudian mereka menggandakan jejak orang-orang baik dan suci tersebut, di samping menjadikannya pola utama dalam bederma di jalan Allah.


Wallahu A’lam


Sumber : Tafsir Al-Maraghi

Comments

Popular posts from this blog

Biografi Imam Qasthalani (Penulis Syarah Sahih Bukhari)

Arti Qana’Ah Berdasarkan Imam Asy-Syafi’I

Sejarah Pemalsuan Kitab Taurat Dan Injil